Terbentuk dan Berakhirnya Kabinet Wilopo

Terbentuk dan Berakhirnya Kabinet Wilopo


Latar Belakang Terbentuknya Kabinet Wilopo
Pada tanggal 1 Maret 1952 Presiden Soekarno menunjuk Sidik Djojosukarto (PNI) dan Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) menjadi formatur untuk membentuk. sebuah kabinet yang kuat dan mendapat dukungan cukup dari parlemen. Usaha kedua formatur tersebut untuk membentuk kabinet yang kuat menemui kagagalan, sebab tidak memperoleh persesuaian pendapat. Menurut Sidik, usaha-usaha membentuk kabinet terhalang oleh usul Prawoto yang menunjuk calon menteri dari Masjumi hanya dari kelompok Natsir. Sidik lebih suka bila semua kelompok dalam Masjumi diwakili. Tetapi Prawoto berpendapat bahwa kegagalan itu disebabkan oleh perbedaan pendapat antara ia dan Sidik mengenai interpretasi apa yang dimaksud dengan “kabinet yang kuat”. Pada tanggal 18 November kedua formatur itu mengembalikan mandatnya dan Presiden Soekarno tanggal 19 November menunjuk Mr. Wilopo (PNI) sebagai formatur baru. Akhirnya setelah berusaha selama 2 minggu, pada tanggal 30 Maret Mr. Wilopo mengajukan susunan kabinetnya yang terdiri atas : PNI, dan Masyumi masing-masing jatah 4 orang, PSI 2 orang, PKRI (Partai Katholik Republik Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Parindra (Partai Indonesia Raya), Partai Buruh, dan PSII masing–masing 1 orang dan golongan tak berpartai 3 orang. Kabinet ini resmi dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1952 tanggal 1 April 1952. 

Dalam melaksanakan pemerintahannya, setidaknya ada enam program kabinet Wilopo, yaitu :
1. Organisasi Negara
  • Melaksanakan pemilu untuk konstituante dan dewan dewan daerah, 
  • Menyelesaikan penyelenggaraan dan mengisi otonomi daerah, 
  • Menyederhanakan organisasi pemerintah pusat.

2. Kemakmuran
  • Memajukan tingkat penghidupan rakyat dengan mempertinggi produksi nasional, terutama bahan makanan rakyat, 
  • Melanjutkan usaha perubahan agraria. 
  • Usaha memperbaiki bidang pendidikan.

3. Keamanan
  • Menjalankan segala sesuatu untuk mengatasi masalah keamanan dengan kebijaksanaan sebagai Negara hukum dan menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan Negara serta, 
  • Memperkembangkan tenaga masyarakat untuk menjamin keamanan dan ketentraman.

4. Perburuhan
Memperlengkapi perundang-undangan perburuhan untuk meninggikan derajat kaum buruh guna menjamin proses nasional.

5. Pendidikan dan Pengajaran
Mempercepat usaha-usaha perbaikan untukpembaharuan pendidikan dan pengajaran.

6. Luar Negeri
  • Mengisi politik luar negeri yang bebas dengan aktivitas yang sesuai dengan kewajiban kita dalam kekeluargaan bangsa-bangsa dan dengan kepentingan nasional menuju perdamian dunia, 
  • Menyelesaikan penyelenggaraan perhubungan Indonesia-Nederland atas dasar Unie-Statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional biasa yang menghilangkan hasil-hasil KMB yang merugikan rakyat dan Negara, 
  • Meneruskan perjuangan memasukkan Irian Barat dalam wilayah kekuasaan Indonesia secepatnya. 
Kendala atau Masalah yang dihadapi :
  1. Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia, sementara kebutuhan impor terus meningkat. Hal ini menyebabkan penerimaan negara menjadi menurun. Dengan keadaan ekonomi yang semakin sulit dan upaya pembentukan militer yang memenuhi standar profesional, maka anggota militer yang tidak memnuhi syarat (berpendidikan rendah) perlu dikembalikan kepada masyarakat. Hal ini tentu menimbulkan protes dikalangan militer. Kalangan yang terdesak dipimpin oleh Kolonel Bambang Sugeng menghadap presiden dan mengajukan petisi penggantian KSAD Kolonel A.H. Nasution. Hal ini menimbulkan kericuhan dikalangan militer dan menjurus kearah kericuhan. 
  2. Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak, terlebih setelah terjadi penurunan hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras. 
  3. Munculnya gerakan separatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang. 
  4. Munculnya sentimen kedaerahan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintahan. 
  5. Terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952. Adanya konflik ditubuh angkatan darat yang diawali dari upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil. Hal ini memunculkan sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Sugeng. Kolonel Bambang Sugeng ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa demonstrasi rakyat terhadap presiden yang menuntuk untuk pembubaran parlemen serta meminta presiden memimpin langsung pemerintahan samapai diselenggarakannya pemilu. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution juga menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak dengan alasan bahwa presiden tidak mau menjadi dikatator, tetapi khawatir juga apabila tuntutan tentara dipenuhi presiden akan ditunggangi mereka. 
  6. Dalam perkembangan selanjutnya muncul golongan yang anti peristiwa 17 Oktober 1952 dari Angkatan Darat sendiri. Menteri Pertahanan, Sekertaris Jendral Ali Budihardjo dan sejumlah perwira yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa 17 Oktober 1952 diantaranya KSAP T.B. Simatupang dan KSAD A.H. Nasution mengundurkan diri dari jabatanya. Kedudukan Nasution kemudian digantikan oleh Bambang Sugeng. Walaupun peristiwa 17 Oktober 1952 tidak menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo, tetapi peristiwa ini mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat terahadap pemerintah. 
  7. Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Perkebunan tersebut adalah perkebunan milik orang asing, yaitu perkebunan kelapa sawit, teh, dan tembakau. Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan mengembalikan lahan perkebunan mereka kembali serta memiliki tanah-tanah perkebunan. 
  8. Pemerintah menyetujui tuntutan dari pengusaha asing ini dengan alasan akan menghasilkan devisa dan akan menarik modal asing lainnya masuk ke Indonesia. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Para petanipun melakukan protes kepada polisi dan disambut oleh tembakan polisi sehingga jatuh korban dikalangan rakyat. 
Berakhirnya Kekuasaan Kabinet 
Pemerintah pada saat itu dihadapkan pada keadaan ekonomi yang kritis, terutama karena jatuhnya harga barang-barang ekspor Indonesia seperti : karet, timah dan kopra, sedang kecenderungan impor terus meningkat. Penerimaan negara mengalami penurunan dalam jumlah yang besar dan karena banyaknya komitmen-komitmen lama yang harus dipenuhi, maka defisit tidak dapat dihindarkan, sekalipun diadakan penghematan-penghematan yang drastis. Rencana kenaikan gaji pokok pegawai negeri sipil sebesar 20 % tetap dilaksanakan, tetapi pembagian jatah beras pegawai terpaksa dihentikan, dan hadiah lebaran tidak pula dapat diberikan. Kesulitan yang lain yang dihadapi ialah masalah panen yang menurun, sehingga perlu disediakan jumlah devisa yang lebih besar untuk mengimpor beras. 

Dalam usaha meningkatkan ekspor yang perlu untuk memperbaiki situasi neraca pembayaran, pemerintah mengambil langkah menurunkan pajak ekspor dan menghapus sistem sertifikat. Sertifikat ini diadakan untuk meningkatkan penerimaan negara dengan mengorbankan barang-barang yang pada waktu itu kuat pasarannya. Di lain pihak dilakukan pembatasan impor dengan jalan menaikkan pajak terhadap barang-barang non-essensial dan mewajibkan para importer membayar uang muka sebesar 40 %.

Wilopo dengan kabinetnya berusaha untuk meleksanakan program itu dengan sebaik-baiknya. Tetapi kesukaran-kesukaran yang dihadapi tidaklah sedikit. Diantara kesukaran-kesukaran yang harus diselesaikan ialah timbulnya provinsialisme dan bahkan separatisme. Di beberapa tempat di Sumatra dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pusat. Alasan yang pertama adalah kekecewaan karena tidak seimbangya alokasi keuangan yang diberikan oleh pusat ke daerah. Daerah merasa bahwa sumbangan yang mereka berikan kepada pusat hasil ekspor lebih besar dari pada yang dikembalikan ke daerah. Mereka juga menuntut diperluasanya hak otonomi daerah. Adanya Paguyupan Daya Sunda, Gerakan Pemuda Federal Republik Indonesia membahayakan bagi kehidupan negara kesatuan dan merupakan langkah mundur dari Sumpah Pemuda 1928. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1952 timbul soal dalam angkatan darat yang terkenal dengan nama peristiwa 17 Oktober. Peristiwa ini dimulai dengan perdebatan sengit di DPR selama berbulan–bulan mengenai masalah pro dan kontra kebijaksanaan Menteri pertahanan dan pimpinan angkatan darat. Aksi dari para kaum politisi itu akhirnya menimbulkan reaksi yang keras dari pihak angkatan darat. Aksi ini diikuti dengan penangkapan enam orang anggota parlemen dan pemberangsungan surat kabar dan demonstrasi-demonstrasi parlemen. Hal ini mengakibatkan kabinet menjadi goyah.

Kabinet yang sudah goyah semakin goyah karena soal tanah di Sumatera Timur yang terkenal dengan nama peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa ini terjadi akibat pengusiran dengan kekerasaan oleh aparat kepolisian terhadap penduduk yang manggarap tanah perkebunan yang sudah lama ditinggalkan. Penduduk menolak untuk pergi karena sudah terkena hasutan kader – kader komunis sehingga terjadilah bentrokan senjata dan memakan korban. Peristiwa ini mendapat sorotan tajam dan emosional dari masyarakat. Selain itu juga menimbulka mosi tidak percaya dari Sidik kertapati, Sarekat Tani Indonesia ( sakti). Akhirnya Kabinet Wilopo bubar pada tanggal 3 Juni 1953. Wilopo berkata tentang ini bahwa ia menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden karena cabinet tidak bisa berharap untuk memperoleh dukungan yang cukup dari partai-partai yang membentuknya(Deliar Noer, 2000:242).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KABINET SUKIMAN : PROGRAM KERJA, DAN PENYEBAB JATUHNYA KABINET SUKIRMAN

Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)

KABINET NATSIR (6 September 1950 - 21 Maret 1951)